Senin, 16 Februari 2009

Kecaman Atas Kasus Protap Itu Tak Lagi "Fair"

Di Pahae, Tarutung, Balige, Porsea, Dolok Sanggul, Pakkat,Parapat, juga di Onanrunggu Samosir, antara pemeluk Kristen/Katolik dan Islam dan juga dengan Ugamo Malim, hidup rukun dan damai sejakdahulu. Bahkan ketika konflik Ambon dan Poso meledak, orang-orang diTano Batak tak terpengaruh. Itu disebabkan karakter dasar manusiaBatak yang sejak dasarnya toleran dan hubungan sosial sehari-hariterhadap siapa pun dirajut berdasarkan nilai-nilai dan norma-normaadat–termasuk pada etnis lain.

Oleh : Suhunan Situmorang

GARA-GARA Azis Angkat tewas akibat ulah ratusan demonstran penuntutProtap yang beringas itu, orang Batak (khususnya Toba), seperti sahditelanjangi, dikecam, dimaki.Bahkan, yang tak etisnya, para pengecam itu banyak dari kalangannon-Batak. Mereka seperti tak risih mengoreksi yang bukan etnisnya danseakan memiliki kesempatan–yang sudah lama dipendam–untuk menghujatmanusia Batak (Toba).Dan parahnya lagi, semua itu hanya berdasarkanpandangan, penilaian, yang muncul dari endapan stereotip dan hasilgeneralisasi yang sempit, kalau tak keliru.Yang mati "hanya" seorang, kebetulan Ketua DPRD, dan visum dokterjelas-jelas mengatakan: ia tewas karena gagal jantung yang sudahpernah dioperasi lima tahun lalu. Tetapi karena ulah para demonstranitu, yang entah siapa mereka sesungguhnya, etnis Batak (Toba) menjadibulan-bulanan–termasuk yang tak mau tahu perjuangan Protap.Berbeda sekali ketika pertempuran antar-etnis Madura vs Dayak yangamat ganas dan barbar terjadi di Kalbar dan Kalteng, yang melibatkanratusan ribu partisan. Pers, petinggi negara, pengamat sosial-politik,dan masyarakat di luar dua etnis yang bertikai itu, seperti kompakmereduksi dampak buruknya: tak membiarkan kejadian yang amatmengerikan itu melebar, tak mempertontonkan korban mati dengan kepaladipenggal hingga ribuan jiwa itu di media massa. Opini yang menguakihwal asal-mula dan pemicu konflik tersebut diusahakan diredam;pendapat yang boleh diekspos adalah yang menyejukkan, yangmengutamakan persatuan dan keutuhan NKRI.

***Orang-orang (termasuk etnis Batak Toba) tak seluruhnya tahu bahwa idedan gagasan Protap sudah muncul sejak tahun 1952, yang mengemuka lagitahun 2002. Juga tak paham bahwa gagasan Protap, awalnya mengajaksemua puak Batak yang enam dengan agama yang berbeda-beda itu.Artinya, sejak dasarnya pun sudah jelas dipaparkan bahwa ide Protaptak mengedepankan hegemoni sub-etnis dan agama tertentu. Masalah yangkemudian mengakibatkan pecahnya "kongsi" adalah: ketidakcocokanmemilih ibukota Protap. Tapsel, Mandailing-Natal, Batubara,Tapteng,Nias, Dairi, Pakpak Barat, tak setuju bila ibukota Protap diSiborongborong.Kemudian, menyusup berbagai kepentingan dari segelintir orang. Duasoal inilah yang kemudian dicelupi aneka isu, yang tak etis, kotor,picik, dan oleh sebagian pejabat pemprov serta anggota DPRD Sumut yangsejak dasarnya sudah cemas membayangkan akibat Protap bagi kekuasaanmereka, lantas terus-menerus dijadikan bahan dagangan dan konsumsipolitik.Masyarakat Sumut kian masuk ke opini dan bahaya yang mengancam yangdisebarkan orang-orang yang ketakutan bila Protap terbentuk: BatakToba akan membuat wilayah Tano Batak dikuasai hanya orang Kristen.Sayangnya, masyarakat Sumut tak secara benar memahami bahwa sejumlahisu yang menyesatkan itu, yang sebetulnya sudah jadi mainan parapolitikus dan pemegang kekuasaan, amat perlu diembus-embuskan untukkepentingan personal dan kelompok (termasuk parpol).Yang tak menarik lagi, akhirnya, "dinasti" GM Panggabean–pemilik koranSIB yang sejak dulu sering menulis berita provokasi dan sebetulnyalebih layak disebut selebaran ketimbang koran, namun masih tetaplaku–seolah menjadi tokoh sentral dalam upaya pembentukan Protap.Chandra Panggabean, anak GM, memang disiapkan ayahnya jadi gubernurProtap. Ia pun gigih bergerilya melobi orang-orang kuat, tokohmasyarakat, parpol, seraya mengucurkan dana besar untuk menggolkanambisi yang kian terang-benderang terlihat sejak dua tahun lalu. Lewatkoran mereka, tuntutan pembentukan Protap terus digenjot sembarimenghantami orang-orang (pejabat pemprov dan anggota DPRD) yang taksetuju. Masyarakat pun kian dipengaruhi opini-opini busuk yangbersliweran di sejumlah media massa Sumut, dicekoki benih kecurigaan,yang kemudian membangkitkan sentimen suku, fanatisme agama, dan ikatanteritorial. (Penentang Protap pun turut menggunakan media massa macamkoran Waspada).GM, Chandra, dan sejumlah orang yang berkepentingan (pribadi) kian taksabar karena uang dan tenaga mereka sudah banyak dibuang. Mereka inginProtap segera diwujudkan. Masalahnya, rekomendasi dari DPRD takkunjung datang dan isunya, memang takkan pernah dikeluarkan. Merekapun meradang: Demo DPRD, ciptakan opini bahwa Azis Angkat tak berkenanpada Protap, dan bikin kesan bahwa masyarakat Batak (Toba) sudahmarah!Mereka terus menggelar rapat, merekrut massa (termasuk mahasiswa darikampus milik GM), mengatur strategi, dan…lagi-lagi harus mengucurkanuang. Tentu saja GM, Chandra, dan orang dekat mereka, amat pentingmendesak terbentuknya Protap, apalagi aset GM di Siborongborong (calonibukota Protap) terus bertambah–yang, katanya, disiapkan untukpembangunan fasilitas perkantoran dan ruang bisnis. Sejumlah jabatandan privilese diiming-iming.Tapi, mereka tak antisipasif, over confidence, hingga meluputkankemungkinan (terburuk) dari sebuah tindakan menggerakkan ribuan massauntuk berunjuk rasa. Dan terjadilah peristiwa yang mengundangkemarahan publik itu.

***AKHIR Desember tahun lalu, saya sedang di wilayah Tano Batak dan tahuada sebuah acara Natal yang cukup besar hajatan Chandra. Koran SIBmembuat liputan besar-besaran. Sejumlah petinggi Sumut diundang,beberapa artis Batak dari Jakarta (termasuk abang saya bersama TrioLasidos-nya) dihadirkan, dan ribuan orang berduyun-duyun keSiborongborong–angkutan dan konsumsi, semuanya dibayari Chandra.Saya tak tertarik hadir di sana kendati dikontak beberapa kawan yangberkepentingan atau cuma simpatisan. Saya? Siapakah saya? Meski hanyasebentar, setidaknya memang pernah ikut rapat dan menyiapkanpembentukan Protap (di Jakarta). Tapi, alasan saya mendukung dantergerak (walau akhirnya tak aktif lagi) mendirikan Protap,semata-mata–seperti yang lain yang juga mendukung–karena kecintaanpada Bangso dan Tano Batak yang amat lambat perkembangannya. Potensialam, budaya, dan Danau Toba yang amat luarbiasa indah itu, tak sabarlagi saya tunggu dipoles dan dioptimalkan untuk kesejahteraanmasyarakat yang berdiam di sana–tanpa merusak eko-sistem dan mengotoriadat-istiadat, tradisi, dan kearifan lokal manusia Batak yang sayakagumi.Saya tak giat lagi di rapat-rapat karena kepentingan GM dan Chandrakian menonjol, sementara sudah lama saya kecewa pada mereka, khususnyakarena arogansi dan kesewenang-wenangan mereka di berbagai bidang(baca: demi kepentingan) dengan memanfaatkan koran SIB. Kasus HKBP 19tahun lalu yang hingga kini belum sembuh itu, misalnya, kian parahakibat keberpihakan koran SIB terhadap satu kelompok dan ikutmemanas-manasi hati jemaat yang tengah bertikai. Tak usah mendamaikan,saat itu, menjalankan fungsi pers saja (pelapor berita yang netral)tak mau mereka lakukan.Demikian halnya bila SIB menilai kinerja pejabat pemprov atau kalapemilihan bupati, gubernur, dsb. Bila tak dekat dengan GM atauanak-anaknya yang umumnya pengusaha (antara lain kontraktor), habislahdipreteli melalui penyebaran isu dan upaya pembunuhan karakter (takpandang agama dan suku). Pokoknya, mereka telah membuat pers (SIB)menjadi sesuatu yang mengerikan, demi kepentingan mereka belaka.Sebaliknya pun demikian: menyanjung seseorang yang tengah berkuasapadahal tak berbobot dan korup, hanya karena sedang mesra denganmereka dan ada kepentingan. Yang saya puji dari koran ini hanya ini:meski milik orang Batak Toba beragama Kristen, SIB tetap memberi ruangyang berimbang untuk agama Islam, Budha, Konghucu, Hindu. Mereka,misalnya, rutin memuat khotbah Jumat, berita tentang Islam, atau acarahalal-bihalal; tak seperti koran Waspada yang amat sektarian itu. Jugatak mau menghajar seseorang karena alasan agama dan suku–bisnis dankepentinganlah dasarnya.***SAYANGNYA, di Sumut (khususnya di luar Tano Batak), orang lebihterpengaruh dan cenderung bersikap berdasarkan sentimen SARA. Disekolah, kampus, kantor-kantor pemerintah, BUMN, swasta, bukan rahasialagi: faktor agama amat jelas baunya. Memualkan, bahkan bisamenjijikkan. Padahal, di wilayah yang diancangkan sebagai Protap itu,kerukunan beragama sudah terjalin sejak dahulu kala, dan itu bukanbasa-basi atau berkat anjuran pemerintah.Di Pahae, Tarutung, Balige, Porsea, Dolok Sanggul, Pakkat, Parapat,juga di Onanrunggu Samosir, antara pemeluk Kristen/Katolik dan Islamdan juga dengan Ugamo Malim, hidup rukun dan damai sejak dahulu.Bahkan ketika konflik Ambon dan Poso meledak, orang-orang di TanoBatak tak terpengaruh. Itu disebabkan karakter dasar manusia Batakyang sejak dasarnya toleran dan hubungan sosial sehari-hari terhadapsiapa pun dirajut berdasarkan nilai-nilai dan norma-normaadat–termasuk pada etnis lain.Batak sejati, sesungguhnya lebih terikat pada adat-istiadat, hubunganmarga, dan menonjolkan kearifan yang diwariskan leluhur Batak; bukanagama-kepercayaan, kepentingan bisnis, politik, ideologi; yang takakan memukul genderang permusuhan hanya disebabkan perbedaan.Terserah mau dituduh apa, saya memang tetap membanggakan Batak, dimana-mana, tetapi lebih karena karakter dasarnya yang terbuka,egaliter, tak hipokrit, humoris, dan senang melakukan otokritikitu–dan akan kecewa bila menemukan manusia Batak yang melenceng darikebatakannya, juga bila gagal menjaga citra manusia Batak yangdiajarkan para leluhur: bijak, terbuka, inklusif, loyal, rendah hati,tak korup (sioloi poda, adat, patik dohot uhum; dang mangasanghon gogodohot haadongon).Tentu pulalah banyak manusia Batak yang sering memperlihatkan perangaiyang tak elok dan bahkan memalukan, tetapi sungguh piciklah bila darisitu lantas diambil sebuah kesimpulan: demikianlah sifat manusiaBatak.Karena itulah saya begitu tersinggung dan kecewa pada sejumlahpendapat miring yang disampaikan di media massa, milis, blog, FB,menyikapi kematian Azis Angkat yang amat disesalkan itu. Saya menilai,pendapat mereka lebih karena kecurigaan dan kebencian terhadap Batak(Toba), bukan lagi karena keprihatinan atas persoalan Protap yangsudah dilumuri sedemikian banyak kepentingan dan dibumbui begitubanyak sentimen hingga menimbulkan banyak korban.Saya khawatir, akibatnya akan semakin buruk dan implikasinya kianmenyulitkan orang-orang Batak yang sama sekali tak terlibat dalamunjuk rasa yang anarkis itu. Dan itu amat tak "fair.

"***Suhunan Situmorang : pengacara, sastrawan (pengarang novel Sordam),tinggal di Jakarta.Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=55387047190&ref=mf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar